Selasa, 02 Februari 2021

XII PEG BAB XIII MEMAHAMI PERATURAN PERKAWINAN PEGAWAI

 A.   Memahami Undang-Undang Perkawinan

1.    Pengertian Perkawinan

Dalam undang-undang perkawinan (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974) telah ditentukan bahwa; “Perkawinan sah ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”


 

2.    Dasar Hukum Perkawinan ASN

Menjadi seorang pegawai negeri sipil (PNS) sangat berbeda dengan pegawai pada perusahaan swasta, terutama berkaitan dengan masalah perkawinan dan perceraian. Salah satu contohnya, jika pegawai swasta “bebas“ menentukan  dirinya sendiri untuk menikah lagi tanpa melibatkan sang atasannya, namun bagi seorang aparatur sipil Negara justru sebaliknya.

            Perlu diketahui, ketika seorang aparatur Negara ingin melakukan perkawinan bahkan sampai ke perceraian, mereka telah diikat oleh sebuah aturan kepegawaian, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 serta Surat Edaran kepala BKN Nomor 08/SE/1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS.

 

3.    Asas-Asas yang Berkaitan dengan Perkawinan

a.    Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil.

b.    Suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya, dan tiap-tiap perkawinan harus dicatat, menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c.    Menganut asas monogamy

d.    Calon suami istri harus telah  masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat.

e.    Mempersulit terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus ada alasan –alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang pengadilan.

f.     Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan berumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri.

 

4.    Laporan Perkawinan

Aparatur sipil Negara yang hendak melangsungkan perkawinan pertama wajib mengirimkan laporan perkawinan secara tertulis kepada pejabat melalui saluran hierarki. Laporan perkawinan harus dikirimkan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun terhitung mulai tanggal perkawinan. Ketentuan itu berlaku juga bagi ASN yang duda/janda yang melangsungkan perkawinan lagi. Maksudnya harus ada pemberitahuan perkawinan berkaitan dengan masalah gaji dan dibuatkan kartu suami dan kartu istri. Laporan perkawinan dibuat rangkap tiga dan dilampiri:

a.    Salinan sah surat nikah/akta perkawinan untuk tata naskah masing-masing instansi.

b.    Pas foto istri/suami ukuran 3x4 sebanyak 3 lembar

 

ASN yang tidak memberitahukan perkawinan pertamanya secara tertulis kepada pejabat dalam jangka waktu selambat-lambatnya satu tahun setelah perkawinan dilangsungkan, maka dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 (sekarang Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010).

 

B.   Menjabarkan Izin Perkawinan Pegawai

Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Berikut aturan jika seorang ASN ingin memiliki istri lebih dari satu.

1.    Izin perkawinan lebih dari 1 (satu) kali bagi ASN berdasarkan pada;

a.    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

b.    Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang izin Perkawinan dan Perceraian bagi ASN sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990

c.    Surat Edaran Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara Nomor 08/SE/1983 tanggal 26 April 1983 tentang Izin Perkkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.

 

2.    Dalam pasal 4 PP 45 Tahun 1990

a.    ASN pria yang akan beristri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat

b.    ASN wanita tidak diizinkan untuk menjadi istri kedua/ketiga/keempat.

c.    Permintaan izin diajukan secara tertulis

d.    Dalam surat permintaan izin harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin untuk beristri lebih dari seorang.

 

3.    Izin untuk beristri dari seseorang hanya dapat diberikan oleh pejabat apabila memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 Ayat (2) dan Ayat (3) PP Tahun 1983.

a.    Syarat alternatif sebagai berikut

1)    Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri

2)    Istri mendapatkan cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

3)    Istri tidak dapat melahirkan keturunan

b.    Syarat kumulatif sebagai berikut

1)    Ada persetujuan tertulis dari istri

2)    ASN pria yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang istri dan anak-anaknya yang dibuktikan dengan surat-surat keterangan pajak penghasilan.

3)    Ada jaminan tertulis dari ASN yang bersangkutan bahwa ia akan berlaku adil terhadap istri dan anak-anaknya.

 

4.    Syarat dokumen pengajuan izin perkawinan lebih dari satu adalah sebagai berikut.

a.    Surat permohonan dari yang bersangkutan disertai dengan alasan

b.    Surat persetujuan tertulis dari istri bermaterai

c.    Surat pernyataan berpenghasilan cukup untuk membiayai lebih dari seorang istri dan anak-anaknya.

d.    Surat pernyataan siap berlaku adil bermaterai.

  C.   Menjabarkan Tata Cara Pelaksanaan Perkawinan

Tata cara melangsungkan perkawinan terbagi menjadi 3 tahap, antara lain sebagai berikut;

1.    Pelaporan atau Pemberitahuan

Setiap orang yang akan melaksanakan perkawinan terlebih dahulu melaporkan atau memberitahukan kehendaknya kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan dan paling lambat 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Pelaporan atau pemberitahuan tersebut dilakukan secara lisan dan tertulis oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya. Pelaporan atau pemberitahuan tersebut memuat nama, umur, agama, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai. Apabila salah seorang atau keduanya dahulu sudah pernah menikah, maka harus disebutkan nama istri atau nama suaminya terdahulu.

 

2.    Pengumuman

Setelah semua data diterima, maka pegawai pencatat akan melakukan penelitian terhadap pemberitahuan atau pelaporan tersebut.

Pegawai pencatat meneliti pula,

a.    Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal-asal calon mempelai yang diberikan oleh kepala desa atau yang setingkat dengan itu.

b.    Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat tinggal orang tua calon mempelai.

c.    Izin tertulis/izin pengadilan sebagai dimaksud dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) undang-undang, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun.

d.    Izin pengadilan sebagai dimaksud pasal 4 Undang-undang, dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai istri.

e.    Dispensasi pengadilan/pejabat sebagai dimaksud pasal 7 ayat (2) undang-undang

f.     Surat kematian istri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih.

g.    Izin tertulis dari pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Pertahanan, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata

h.    Surat kuasa autentik atau di bawah tangan yang disahkan oleh pegawai pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.

 

3.    Pencegahan

Suatu perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memebuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pihak-pihak yang dapat mencegah perkawinan adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dank e bawah, saudara, wali nikah, wali, pengampu dari salah seorang calon mempelai.

 

4.    Pelangsungan Perkawinan

Perkawinan dilangsungkan paling tidak 10 hari setelah dilakukannya pengumuman kehendak perkawinan oleh bagian pegawai pencatat. Apabila tidak ada pihak yang melakukan pencegahan perkawinan maka perkawinan dilakukan sesuai dengan hukum agama atau kepercayaan masing-masing di hadapan pegawai pencatat serta dihadiri oleh dua orang saksi.

            Setelah perkawinan dilangsungkan, kedua mempelai, para saksi dan pegawai pencatat membubuhkan tanda tangannya pada akta perkawinan. Khususnya untuk perkawinan yang dilangsungkan menurut agama islam, akta perkawinan juga ditandatangani oleh wali nikah atau yang mewakilinya. Penandatanganan akta perkawinan tersebut menjadi dasar bahwa perkawinan telah dicatat secara resmi.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri

5 Risiko Kecelakaan Kerja dalam Bidang Akuntansi